BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejarah
filsafat adalah sejarah pertarungan akal dan hati (iman) dalam berebut dominasi
mengendalikan jalan hidup manusia. Kadang-kadang akal menang mutlak,
kadang-kadang iman yang menang mutlak. Kedua-duanya membahayakan hidup manusia.
Yang menguntungkan hidup manusia ialah bila akal dan iman mendominasi hidup
manusia secara seimbang.
Pendirian aliran rasionalisme dan
empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio
merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian
sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme
adalah Immanuel kant yang melahirkan Kantianisme.
Immanuel Kant (1724-1804 M) berusaha
mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan
Kritisisme (aliran yang kritis). Untuk itulah, ia menulis tiga bukunya berjudul
: Kritik der Reinen Vernunft (kritik atas rasio murni), Kritik der Urteilskraft
(kritik daya pertimbangan).
Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani kuno
hingga abad XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat bermunculan. Setiap
aliran filsafat memiliki kekhasan masing-masing sesuai dengan metode yang
dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti
pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman
modern ada periode yang disebut Renaissance (kelahiran kembali).
Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni
dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal
dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari
diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada Perbedaan
pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah
rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin,
maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan
kedua pendapat berbeda itu.
Situasi
pemikiran yang dihadapi Kant sekalipun sama dengan situasi pemikiran yang
dihadapi oleh Socrates, pada esensinya benar-benar sudah mencapai titik kritis.
Argumen-argumen Kant dimuat didalam bukunya, Critique of Pure Reason dan
Critique of Practical Reason dan
critique of Judgment (Ahmad Tafsir,
1990:157).
Demikian Immanuel Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran
filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran
filsafat masa kini.
Demikian pendahuluan mengenai
makalah ini. Bagaimana kritisime ini memiliki ciri-ciri, definisi, dan
pemikirannya, berikut kita bahas lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kritisisme
Imanuel Kant
Pada awalnya,
Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian tepengaruh oleh empirisnya (Hume).
Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui
bahwa empirisme terkadang skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu,
dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran (Amsoro Achmadi, 2008:140).
Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat
Barat. Ia mengatasi dan menyimpulkan aliran Rasionalisme dan Empirisme, yang
dibantah oleh Copleston VI. Dari satu pihak ia mempertahankan obyektifitas,
universalitas, dan keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan yang utama
terletak pada kegiatan atau pengertian dan penilaian manusia. Bukan seperti
empirisme yang menekankan pada aspek psikologi, melainkan sebagai analisa
kritis, pada pemahaman Kant yang baru, dan sering disebut “revolusi Kopernikus
yang kedua”.
Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah
dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kant tidak
menentang adanya akal murni, ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu
terbatas. Akal murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau
independen dari alat pancaindra.
Kant dalam argumennya, bahwa akal dipandu oleh tiga ide
transcendental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide
tentang Tuhan. Ketiganya tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide
jiwa” menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah yang merupakan cita-cita
yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang psikis, “ide dunia” menyatakan
segala gejala jasmaniah, “ide Tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada,
baik batiniah maupun yang lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151).
Kant mengarang macam-macam kritik mengenai akalbudi, kehendak,
rasa, dan agama. Dalam karyanya yang sering disebut metafisika. Menurutnya
Metafisika merupakan uraian sistematis mengenai keseluruhan pengertian
filosofis yang dapat dicapai. Ia berpendapat bahwa pada sekurang-kurangnya pada
prinsipnya mungkin untuk memperkembangkan suatu metafisika sistematis yang
lengkap. Namun Kant mulai meragukan kemungkinan dan kompetensi metafisik, sebab
menurut dia metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk
memecahkan masalahnya, maka perlu diselidiki dahulu kemampuan dan batas-batas
akal-budi.
Immannuel Kant membedakan akal (vertstand) dari rasio dan budi
(vernuft). Tugas akal merupakan yang mengatur data-data indrawi, yaitu dengan
mengemukakan “putusan-putusan”. Sebgaimana kita melihat sesuatu, maka sesuatu
itu ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya. Hasil indra
diolah sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya bekerja dengan daya fantasi umtuk
menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh
bentuk ruang dan waktu.
Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting diantaranya adalah tentang
“akal murni”. Menurut Kant dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan
jiwa, bukanlah sekedar tabula rasa. Tetapi jiwa merupakan alat yang positif,
memilih dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa
dengan menggunakan kategori, yaitu dengan mengklasifikasikan dan
memersepsikannya ke dalam idea. Melalui alat indara sensasi masuk ke otak, lalu
objek itu diperhatikan kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak
melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut
tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan
tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah yang
dinamakan hukum-hukum (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 121).
Demikian gagasan Immanuel Kant yang menjadi penggagas Kritisisme.
Filsafat memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio
sebagai sumber pengetahuan manusia. Maka Kritisisme berbeda dengan corak
filsafat modern sebelum sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara
mutlak.
Dengan Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan
antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar
bukan hannya pada rasio, tetapi juga pada hasil indrawi. Kant memastikan adanya
pengetahuan yang benar-benar “pasti”, artinya menolak aliran skeptisisme, yaitu
aliran yang menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
Zaman
pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi
pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan
“dengan aufklarung, manusia akan keluar dari keadaan tidak akil balig
(dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang dengan ia sendiri bersalah”.
Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak menggunakan kemungkinan yang ada
padanya yaitu rasio. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru
dalam proses emansipasi manusia barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan
reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar yang melebihi zaman aufklarung telah
lahir yaitu Immanuel Kant.
Jadi,
metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang
tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang
melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek
irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataanya (Asmoro Achmadi,
2008:140).
2.2
Ciri-ciri Kritisisme
Adapun
ciri-ciri Kritisisme adalah adalah sebagai berikut:
a. Menganggap
obyek pengenalan berpusat pada subyek dan bukan pada obyek
b. Manegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
c. Menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsur a priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan
peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi
(Atang Abdul Hakim, 2008:283).
2.3
Kritisisme Immanuel Kant
Pemikiran-pemikiran
Kant yang terpenting diantaranya ialah tentang “akal murni”. Menurutnya, dunia
luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa bukanlah sekedar tabula rasa,
tetapi jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekonstruksi hasil
sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan katagori, yakni
mengklasifikasikan dan memersepsikannya ke dalam idea (Atang Abdul, 2008:277).
Immanuel
Kant memulai filsafatnya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai
sumber pengetahuan manusia. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel
Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika (Atang Abdul Hakim,
2008:282). Setelah Kant mengadakan penyelidikan (Kritik) terhadap pengetahuan
akal, setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar
manusia, demi kemajuan /peradaban manusia (Asmoro Achmadi, 2008:156).
1. Critique
of Pure Reason (Kritik atas Rasio Murni)
Kritisisme
Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme
dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur a priori dalam pengenalan,
berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti misalnya
“ide-ide bawaan” ala Descraes). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori
berarti unsure-unsur yang berasal dari pengalaman (seperti Locke yang menganggap
rasio sebagai “lembaran putih”). Menurut Kant baik rasionalisme maupun
empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan
manusia merupakan paduan antara unsure-unsur a priori dengan unsure unsure
aposteriori (Atang Abdul Hakim, 2008:284).
Walaupun
Kant sangat menagumi empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan yang
konsekuen, ia tidak dapat menyetujui skeptisime yang dianut Hume dengan
kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan, kita tidak mampu mencapai
kepastian. Pada waktu Kant hidup sudah jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang
dirumuskan Newton memperoleh sukses. Hukum-hukum ilmu pengetahuan berlaku
selalu dan dimana-mana. Misalnya air mendidih pada 100 C selalu begitu dan
begitu dan begitulah dimana-mana (Atang Abdul Hakim, 2008:284).
Arti
penting buku pertama 800 halaman yang berjudul Critique of Pure Reason adalah
hendak menyelamatkan sains dan agama. Mula-mula sains itu dibuktikan absolute
bila dasarnya a priori; ia berhasil disini. Kemudian ia membatasi keabsolutan
sains tersebut dengan mengatakan bawa sains itu naïf. Sains hanya mengetahui
penampakan obyek. Bila sains maju selangkah lagi, ia akan terjerumus ke dalam
antinomy. Jadi sains dapat dipegang, tetapi sebatas penampakan obyek. Dengan
demikian, sains telah diselamatkan. Argumennya adalah bahwa sains dan akal
tidak mampu menembus noumena, tidak mampu juga menembus obyek-obyek keyakinan.
Obyek-obyek ini, yaitu obyek keyakinan, temasuk noumena yang lain, hanya
diketahui dengan kala praktis. Jadi agama telah di selamatkan (Ahmad Tafsir,
1990:166).
2. Critique of
Practical Reason (Kritik Atas Rasio Praktis)
Rasio
murni yang dimaksudkan oleh Kant adalah Rasio yang dapat menjalankan roda
pengetahuan. Akan tetapi, disamping rasio murni terdapat rasio praktis, yaitu
rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan lain kata, rasio
yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio
praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperative
kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari
sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya
Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketga postulat dimaksud
itu ialah: (Atang Abdul Hakim, 2008:287).
1. Kebebasan kehendak
2. Inmoralitas
jiwa, dan
3. Adanya
Allah
Yang
tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis harus diandaikan atas dasar rasio
praktis. Akan tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya
Allah, kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritas. Menerima ketiga
postulat tersebut dinamakan Kant sebagai Glaube alias kepercayaan. Dengan
demikian, Kant berusaha untuk memperteguh keyakinannya atas Yesus Kristus dengan
penemuan filsafatnya (Atang Abdul Hakim, 2008:287).
Dalam
kritiknya antara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat
umum, mutlak dan pengertian baru. Untuk itu ia membedakan tiga aspek putusan.
Pertama, putusan analitis a priori, dimana predikat tidak menambah sesuatu yang
baru pada subyek, karena termasuk di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati
ruang). Kedua, putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan misalnya meja
itu bagus disini predikat dihubungkan dengan subyek berdasakan pengalaman
indrawi. Ketiga , putusan sintesis apriori, dipakai sebagai suatu sumber
pengetahuan kendati bersifat sintesis, tetapi bersifat apriori juga, misalnya,
putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebab
4. Critique of Judgment ( Kritik Atas Pertimbangan )
Kritik
ketiga dari Kant atas rasionalisme dan empirisme adalah sebagaimana dalam
karyanya Critique of Judgment. Sebagai
konsekuensi dari “Kritik atas Rasio Umum ” dan “Kritik atas Rasio Praktis”
ialah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu lapangan keperluan mutlak, di bidang
alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud kritik der
unteilskraft ialah mengerti kedua
persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep
finalitas (tujuan) (Atang Abdul Hakim, 2008:287).
Finalitas
bisa besifat subyektif dan obyektif. Kalau finalitas bersifat subyektif,
manusia mengarahkan obyek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi di
dalam pengalaman estetis (seni). Dengan finalitas yang bersifat obyektif
dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda dari benda-benda alam
(Atang Abdul Hakim, 2008:288).
Adapun Inti dari
Critique of Judgment (Kritik atas
pertimbangan) adalah sebagai berikut:
a. Kritik
atas pertimbangan menghubungkan diantara kehendak dan pemahaman.
b. Kehendak
cernderung menuju yang baik, kebenaran adalah objek dari pemahaman.
c. Pertimbangan
yang terlibat terletak diantara yang benar dan yang baik
d. Estetika
adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini adalah gejala yang ada pada
dasar subjektif.
e. Teologi
adalah teori tentang fenomena, ini adalah bertujuan: (a) subjektif (menciptakan
kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui
akibat-akibat dari pengalaman).
Kritisisme
Immanuel Kant sebenarya telah memadukan dua pendekatan alam pencarian
keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substanstial dari sesuatu itu.
Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan
kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak
dapat dijadikan tolok ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata dan
rasional, sebagaimana mimpi yang nyata tetapi “tidak real”, yang demikian sukar
untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Dengan
pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirisme harusnya bergabung agar
melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional,
sebagaimana kebenaran rasional harus empiris. Jika demikian, kemungkinan lahir
aliran baru yakni rasionalisme empiris (Atang Abdul Hakim, 2008:288).
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Filsafat
Immanuel kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat
sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme
yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting
yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas
pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof
sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran
kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya
telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga
tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas
bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak
membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur,
karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang
demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut,
rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm
baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional
harus empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi, A. (2003). Filsafat Umum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Arifin, A. R. ( 2002). Filsafat Umum. Bandung: Gema
Media Pustakama.
Fautanu, I. (2012). Filsafat Ilmu. Jakarta: Referensi.
Hakim, A. A. (2008). Metologi sampai Teofiologi.
Bandung: Pustaka Setia.
Jalaluddin. (2013). Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muslih, M. (2004). Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Belukar.
S.Praja, J. (2005). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.
Jakarta: Prenada Media.
Tafsir, A. (2013). Filsafat Umum. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.